Jika Anda hanya memiliki lahan yang sempit, jangan takut berharap bisa menuai hasil panen yang besar. Sekarang sudah ada resepnya. Petani di lereng Gunung Merapi membuktikan. Resep manjur itu adalah sistem tanam tumpangsari.
Sistem tanam model tumpangsari bukanlah hal baru bagi petani. Ide dasarnya adalah menanam beberapa jenis tanaman dalam satu lahan. Sistem ini mengurangi pengeluaran petani untuk biaya pengolahan lahan serta meningkatkan hasil panen berlipat ganda. Menurut, Nur Sriyanto, Sekretaris Kelompok Tani Ngudi Rejeki, Desa Sidorejo, Kemalang, Klaten, sistem tanamsari tak jauh beda dengan pengolahan lahan biasa. Namun, petani perlu menjadwal waktu tanam jenis-jenis tanaman yang akan dibudidayakan secara teliti. Sebagai contoh, petani ingin membudidayakan loncang, kol bunga atau kol bulat, sawi, dan cabe. Maka, petani perlu memahami sifat-sifat masing-masing jenis tanaman terlebih dahulu untuk membuat jadwal tanamnya.
"Setelah pengolahan lahan selesai, petani mesti menanam kol bunga dan cabe. Perlakukan dua jenis tanaman ini tidak jauh berbeda. Petani juga bisa juga menanam sawi di sepanjang tepi gulutan. Kol bunga akan bisa dipanen setelah umur dua bulan. Sementara cabe baru bisa dipanen setelah empat bulan. Sambil menunggu panen cabe, petani dalam waktu yang relatif singkat bisa memanen kol bunga dan sawi. Hasil panen kol bunga dan sawi bisa mengembalikan 50 prosen modal yang dikeluarkan petani. Setelah panen kol bunga dan sawi, kol bunga bisa diganti tanaman loncang, sementara sawi akan terus bisa dipanen secara periodikal. Loncang sekitar 2 bulan selanjutnya bisa dipanen," ujarnya.
Sembari menanam loncang, petani mulai melakukan perawatan terhadap tanaman cabe, terutama penanggulangan hama, memberi pupuk tambahan, dan penyiangan. Loncang bisa dipanen setiap saat, perawatannya juga mudah. Budidaya loncang bisa menjadi masukan harian bagi petani.
"Hasil panen jenis tanaman loncang, sawi, kol bunga, kol bulat, petani sudah dapat mengembalikan modal. Bahkan, jika harga tidak anjlog petani bisa mendapat keuntungan," lanjut Nur Sriyanto.
Dengan sistem tanam seperti tanaman cabe bisa dikatakan sebagai keuntungan petani. Berapapun harga cabe, petani tetap untung. Terlebih jika harga cabe sedang bagus, maka petani bisa memperoleh pendapatan yang sangat besar.
Untuk petani lahan kering, pengolahan lahan dilakukan pada bulan Oktober dan November. Pada bulan Desember, saat musim hujan petani mulai melakukan kegiatan tanam. Pada akhir Januari petani sudah bisa panen sawi. Jadi, petani bisa mendapat pemasukan. Pada awal maret petani bisa panen kol bunga, dan locang dan seterusnya.
Hal serupa dikatakan oleh Srijono, warga Desa Tegalmulyo, Kemalang. Ia mencontohkan untuk lahan seluas 1000 M2, untuk pengolahan lahan petani mengeluarkan modal 500 ribu, pupuk kandang 200 ribu, plastik mulsa 400 ribu, bibit 650 ribu, obat-obatan 300 ribu, dan ongkos perawatan 300 ribu, jadi total pengeluaran petani sebesar 2,35 juta. Sementara penghasilan petani dari kol bunga sebesar 1 juta, sawi sebesar 1,2 juta, loncang sebesar 1,8 juta, dan dari cabe sebesar 2,5 juta. Jadi, penghasilan petani sebesar 7,5 juta. Petani juga mendapat tambahan dari sisa-sisa panen yang dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari.
"Hambatan utama petani adalah angin musiman, naik-turun harga pasaran, dan serangan kera. Idealnya ada komunikasi antara petani, kelompok tani, dan pemerintah untuk mencari jalan keluar yang terbaik," lanjunya. Srijono optimis dalam harga yang anjlog pun dengan sistem tumpangsari petani tidak rugi.
Sumber :http://www.merapi.combine.or.id
1.27.2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar